Dua Ribu Rupiah

Suatu hari di sudut stasiun, Pak Sabar menjajakan tisu kepada orang-orang yang sedang lalu lalang. Seperti biasa, Pak Sabar selalu menjajakan dagangannya dengan ceria. Pak Sabar begitu telaten menawarkan satu demi satu tisu kepada pengunjung stasiun. Meski sudah renta, Pak Sabar tidak pernah mengeluh.
Terkadang dalam menjajakan dagangannya, ada yang menyambut tisunya dengan langsung membeli. Ada yang menolak dengan seyum ramah. Ada pula yang menolak mentah-mentah. Bahkan, seringkali Pak Sabar dibentak pelanggan karena dianggap menghalangi jalan. Semua perlakuan itu Pak Sabar terima dengan lapang dada.
Saat sedang asyik menawarkan dagangan, seorang pemuda bertampang dan berpenampilan preman datang menghampiri Pak Sabar.
“Pak, boleh saya pinjam uang dua ribu?” katanya garang.
Pak Sabar pun sedikit terganggu dengan suara anak itu. Suaranya berat, keras, dan menyeramkan. Pak Sabar pun terkejut karena tidak pernah melihat anak itu sebelumnya.
“Hm, maaf, adek ini siapa ya?”
“Saya mau ke Bogor, Pak. Tapi uang saya kurang buat naik kereta. Bapak mau nolongin saya gak?”
Pemuda itu memohon. Meski garang, namun kalimatnya terdengar tulus dan jujur.
“Dua ribu saja, Pak.” tambahnya.
“Oh, ya, ini, Dek. Silakan.” Pak Sabar pun memberikan uang dua ribu rupiah tanpa pikir panjang.

Hari semakin sore. Pak Sabar semakin lelah menjajakan dagangannya. Meskipun begitu, Pak Sabar selalu berusaha tetap semangat dan sabar. Menjelang magrib, dagangan Pak Sabar belum laku semua. Pak Sabar pun memutuskan untuk pulang. Mungkin, hari itu rezekinya memang sedang sedikit, batinnya.
Rumah Pak Sabar tidak jauh dari stasiun. Di rumah, Pak Sabar hanya tinggal bersama istrinya. Pak Sabar memiliki lima anak yang semuanya merantau ke kota. Sudah bertahun-tahun anak-anaknya merantau, tetapi tak ada satu pun yang pulang untuk berkunjung. Bersama istrinyalah dia menghabiskan masa tua di gubug reyot.
“Assalamualaikum.” sapa Pak Sabar di pintu rumah, tetapi tidak ada yang menjawab. Pak Sabar pun langsung masuk ke dalam rumah seperti biasa.
Pak Sabar dihinggapi perasaan khawatir yang muncul tiba-tiba. Dia pun segera mempercepat langkah menuju kamar, dapur, dan kamar mandi.
“Astaghfirulloh! Ibu!” teriak Pak Sabar histeris.
Benar saja, Pak Sabar menemukan istrinya tertelungkup di pintu kamar mandi. Pak Sabar pun panik dan segera meminta bantuan tetangga untuk membawa istrinya ke Puskesmas.

Setelah diperiksa dokter, ternyata istri Pak Sabar memiliki darah tinggi. Karena jatuh di saat tekanan darahnya sedang tinggi, istri Pak Sabar pun terkena stroke. Separuh badan istrinya kini tidak bisa digerakkan. Dia juga agak sulit bicara dan terlihat begitu kuyu. Pak Sabar sangat sedih melihat keadaan istrinya sekarang.
Sudah tiga hari Pak Sabar tidak pergi ke stasiun. Dia merawat istrinya yang setengah lumpuh. Pak Sabar dengan telaten mengurus semua kebutuhan istrinya. Dia terkadang teringat anak-anaknya yang tidak jelas keberadaannya. Tidakkah mereka ingin pulang dan bertemu dengan orangtuanya? Pak Sabar pun hanya bisa meneteskan air mana.
“P...pak.” kata istri Pak Sabar terbata-bata.
“Iya, Bu. Ada apa?”
“Ma...maaf...kan....ib...bu.”
“Ibu tidak perlu minta maaf. Ini semua cobaan dari Allah. Kita harus sabar dan ikhlas.” jawab Pak Sabar dengan air mata berlinang.
Keduanya pun menangis bersama. Meratapi nasib mereka dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
               
Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu dan mengucap salam.
“Waalaikumsalam. Siapa?” teriak Pak Sabar dari dalam.
“Joko, Pak.” terdengar jawaban dari luar. Pak Sabar pun segera keluar untuk menemui Joko, tukang ojek yang suka mangkal di stasiun.
“Ada apa Joko kok tumben....” Pak Sabar tidak menyelesaikan kalimatnya karena melihat Joko bersama dua orang pemuda.
“Ini ada apa ya kok rame-rame begini, Jok?” ucap Pak Sabar bingung.
“Pak Sabar ada yang mencari dari tiga hari lalu.” kata Joko.
“Hah? Si...siapa ya?”
“Bapak tidak ingat saya?” kata pemuda yang datang bersama Joko.
 Pak Sabar merasa tak asing dengan pemuda di depannya, tetapi dia tidak mengenal siapa dia.
“Saya Robin, Pak, anak yang pinjam uang dua ribu ke bapak tiga hari yang lalu di stasiun. Saya cari-cari bapak dari kemarin tidak ada. Kenalkan ini adik saya” Robin memperkenalkan diri.
“Oalah! Kenapa jadi berubah rapi begini?”
Pak Sabar menatap tubuh pemuda itu dari atas sampai bawah. Barulah dia ingat dengan wajah pemuda bertampang preman tempo hari. Hanya saja, sekarang pemuda preman itu berpakaian rapi dan berbicara lebih sopan dan lembut.
“Aih, mari-mari. Silakan masuk. Sampai lupa mempersilakan duduk.”
Pak Sabar pun menjelaskan keadaan yang sedang menimpa keluarganya. Mendengar itu, Robin merasa terharu dan sedih. Dia merasa betapa selama ini dia tidak mensyukuri nikmat Allah kepadanya.

Robin ternyata seorang anak orang kaya. Tetapi dia tidak pernah bersyukur, dia lebih suka berfoya-foya bersama teman-temannya. Pada hari ketika Robin bertemu Pak Sabar di stasiun, Robin sedang kabur dari rumah. Dia kabur karena tidak diizinkan membeli mobil baru. Setelah semalaman tak pulang, dia dirampok dan semua barang miliknya hilang. Dia ingin pulang, tetapi uang yang tersisa di sakunya tidak cukup untuk membeli tiket kereta.
Sesampainya di rumah, Robin kaget karena ternyata ayahnya sakit. Dia pun sangat menyesal. Untung saat itu dia pulang. Berkat bantuan Pak Sabar, Robin bisa pulang dan meminta maaf kepada orangtuanya. Sejak saat itu Robin berjanji tidak akan berfoya-foya lagi. Dia akan hidup sederhana dan tidak menghambur-hamburkan uang.
“Istri Bapak harus dibawa ke rumah sakit.” kata Robin panik setelah melihat istri Pak Sabar.
“Jangankan rumah sakit, Nak. Buat kontrol ke Puskesmas besok saja belum tahu bisa apa gak, hehehe.”
“Bapak jangan pikirkan macam-macam. Kebetulan mamah saya dokter, istri Bapak biar dirawat di rumah sakit tempat mamah saya kerja. Bapak tidak usah khawatirkan biaya. Semua biar saya yang nanggung. Anggap saja ini sebagai ganti atas kebaikan bapak meminjamkan saya uang tempo hari.”
“Subhanallah. Beneran ini, Nak?” ucap Pak Sabar tak percaya.
“Iya, Pak. Kalau bapak gak minjamin saya uang mungkin saya gak akan sadar.”
“Alhamdulillah!” Joko yang mendengar kisah Pak Sabar dan Robin tidak bisa menahan air matanya agar tidak keluar.



0 Response to "Dua Ribu Rupiah"

Posting Komentar