Zahra ingin sekali membeli pensil. Pensil miliknya sudah
kecil dan harus segera diganti. Sayangnya, Zahra belum punya cukup uang.
Sepulang sekolah, Zahra diminta untuk membelikan kakak olos.
Olos adalah jajanan khas Kota Tegal. Olos terbuat dari adonang tepung kanji, di
dalamnya diisi sayuran dan cabe rawit kemudian digoreng. Tidak jauh dari rumah
Zahra, ada penjual olos yang sangat kreatif, namanya Um Joko. Um Joko menjual
olos yang berisi ayam, sosis, dan topping lain. Selain itu, ada juga olos
original berisi kol dan cabe rawit. Keunikan olos Um Joko dibanding yang lain
adalah tambahan taburan bumbu pedas setelah matang.
Zahra pun mematuhi perintah kakak untuk membeli olos Um Joko.
Gerobak olos Um Joko sedang ramai saat itu. Banyak pembeli mengantre untuk
dilayani.
“Um, aku beli lima ribu ya. Isi ayam sama original.”
“Siap, neng.” Um Joko melayani dengan cepat dan cekatan.
Tidak lupa dia menaburkan bumbu pedas yang katanya memakai resep rahasia.
“Silakan, ini olosnya. Makasih ya, Dek.” kata Um Joko sembari
memberikan sebungkus olos kepada Zahra.
“Makasih. Ini uangnya.”
Zahra memberikan uang sepuluh ribuan. Um Joko menerima dan
mengambil kembalian. Karena ramai, Um Joko tidak terlalu teliti memberi uang
kembalian. Zahra pun menerima kembaliannya yang terdiri tanpa menghitung karena
ramai.
Di tengah perjalanan, Zahra menghitung uang kembalian dari Um
Joko.
“Kok kayaknya kembaliannya banyak banget ya.” batin Zahra
sambil menghitung. Benar saja, ternyata uang yang dikembalikan ada satu lembar
lima ribuan dan selembar sepuluh ribuan. Itu artinya uang kembalian dari Um
Joko Rp15.000,00. Padahal, kan, seharusnya uang kembaliannya hanya Rp.5000,00.
“Ini pasti Um Joko salah deh.” pikir Zahra. “Hm, tapi lumayan
juga ya, kan ini bukan salahku hihihi.” Zahra melanjutkan perjalanan. Namun,
sepanjang jalan ia masih bimbang dengan pikirannya sendiri.
“Aku kembalikan tidak, ya? Tapi uang sepuluh ribu ini bisa
aku pakai buat beli pensil. Lagian kan, ini bukan salahku.” kata Zahra pada
dirinya sendiri.
“Hmmm, tapi... ini kan tetap bukan uang aku. Gimana yaa?”
“Zahra! Kenapa lama sekali?” teriak kakak dari depan pintu.
Ternyata Zahra sudah hampir sampai rumah.
“Oh, iya, Kak. Ini olosnya.” Zahra yang terkaget segera
berlari dan memberikan olos itu kepada kakak. Tak lupa Zahra juga memberikan
kembalianya. “Ini kembaliannya, Kak. Lima ribu. Zahra pergi dulu ya!”
“Hey, mau ke mana lagi?”
“Sebentar, Kak.” Zahra berlari cepat menuju gerobak Um Joko
lagi. Dia memang sangat ingin membeli pensil, tetapi dia tidak ingin membelinya
dengan uang yang bukan miliknya.
Zahra kemudian mengembalikan uang sepuluh ribu di tangannya
kepada Um Joko. Zahra menjelaskan bahwa uang yang dikembalikan Um Joko tadi
lebih sepuluh ribu.
“Wah, begitu, ya. Tadi Um pikir uang Zahra dua puluh ribu.
Makanya Um kasih kembali lima belas ribu.”
“Hehehe, enggak, Um. Uangnya tadi sepuluh ribu kok. Maaf, ya,
Um.”
“Yasudah. Makasih, ya, Zahra. Kamu anak yang jujur.”
Um Joko mengusap jilbab Zahra dengan bangga. Zahra juga
merasa senang karena telah berlaku jujur. Ternyata benar, ya, berbuat baik itu
rasanya bahagia. Zahra segera pulang ke rumah karena kakak pasti bertanya-tanya
ke mana Zahra pergi.
Sesampainya di rumah, Zahra menceritakan kejadian yang
dialaminya kepada kakak. Kakak sangat bangga kepada Zahra. Keesokan harinya,
kakak membelikan Zahra pensil baru.
“Ini hadiah buat adek yang jujur dan baik hati.” kata kakak. Zahra senang sekali menerima hadiah itu.
0 Response to "Pensil Zahra"
Posting Komentar